Indonesia Tekankan Pentingnya Pendanaan Transisi Energi

Climate Policy Initiative sarankan empat hal yang bisa dilakukan institusi keuangan untuk dukung percepatan transisi energi.

Salah satu agenda penting yang menjadi perhatian banyak pihak pada pertemuan tingkat tinggi G20 di Bali pada November mendatang adalah transisi energi. Tiga isu prioritas transisi energi yang mendesak untuk dibahas yaitu akses, teknologi, dan pendanaan.

Transisi energi sendiri merupakan tantangan bagi semua negara, namun juga sekaligus merupakan peluang untuk menciptakan masa depan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan menerapkan skenario dan peta jalan yang kuat, terutama untuk aspek keuangan.

Menurut Presiden Jokowi, setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi terkait transisi energi ini, pertama terkait akses energi bersih, kedua terkait pendanaan, dan yang ketiga yaitu dukungan riset dan teknologi. Terkait soal pendanaan, proses transisi menurut Jokowi membutuhkan dana yang sangat besar dan proyek-proyek baru, yang berarti dibutuhkan investasi yang baru, sehingga transisi energi ini juga membutuhkan eksplorasi mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomian, harga yang kompetitif, dan tidak membebani masyarakat.

Lebih lanjut Jokowi menjelaskan bahwa transisi energi bukan sekedar pemanfaatan dan penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Lebih dari itu, transisi energi juga menyangkut sejumlah aspek yang sangat kompleks dari ilmu pengetahuan dan teknologi hingga sosial ekonomi serta lingkungan.

“Kita menghadapi kenyataan bahwa tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi terjangkau, andal, berkelanjutan dan modern,” kata Jokowi saat menyampaikan pidato kunci pada S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition, Kamis (17/3). 

“Saya optimistis di balik semua tantangan itu ada sejumlah peluang yang terbuka lebar. Kemampuan kita mengatasi tantangan transisi energi akan membuka peluang baru dan lapangan kerja baru,” lanjutnya.

Transisi energi juga menyangkut sejumlah aspek yang sangat kompleks dari ilmu pengetahuan dan teknologi hingga sosial ekonomi serta lingkungan.

Menurut Climate Policy Initiative, sebuah organisasi yang secara khusus memiliki fokus pada green and sustainable financing, Indonesia akan membutuhkan peningkatan eksponensial dalam pembiayaan ke sektor energi terbarukan untuk mencapai target energi terbarukan pada tahun 2050 dan 2060. Indonesia memang telah berkomitmen untuk mencapai netral karbon pada 2060, sesuai dengan Perjanjian Paris.

Indonesia juga telah meluncurkan Strategi Jangka Panjang untuk 2050 yang terdiri dari tiga skenario dekarbonisasi, dimana yang paling ambisius adalah skenario Kompatibel dengan Perjanjian Paris Rendah Karbon (LCCP/Low Carbon Compatible with Paris Agreement).

Diperkirakan ada kebutuhan investasi sebesar USD 16,1 miliar per tahun untuk listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan bagi Indonesia, untuk mencapai bauran energi terbarukan 87 persen pada tahun 2060. Pengembangan kapasitas tenaga surya sendiri harus dipercepat 523 kali lipat dari tingkat saat ini untuk mengisi kesenjangan kapasitas energi terbarukan pada tahun 2060. Namun volume pembiayaan saat ini untuk proyek energi surya jauh dari yang dibutuhkan.

Menurut Climate Policy Initiative, terkait solusi pendanaan transisi energi, ada berbagai langkah yang bisa diambil oleh lembaga keuangan untuk memberikan dukungan, pertama, segera mengurangi pembiayaan pembangkit listrik bahan bakar fosil untuk menghindari risiko aset yang terlantar karena mulai tahun 2023 tidak ada lagi pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru.

Pengembangan kapasitas tenaga surya sendiri harus dipercepat 523 kali lipat dari tingkat saat ini untuk mengisi kesenjangan kapasitas energi terbarukan pada tahun 2060.

Kedua, lembaga keuangan komersial harus memprioritaskan dan meningkatkan pembiayaan ke sektor energi terbarukan dengan memanfaatkan berbagai mekanisme keuangan. Ketiga adalah para pemodal harus memperluas portofolio mereka untuk memasukkan investasi dalam infrastruktur rendah karbon dan teknologi baru untuk mendukung transisi energi bersih Indonesia. Keempat adalah lembaga keuangan perlu menilai dan melaporkan dampak risiko terkait iklim pada operasi dan portofolio pembiayaan mereka, dan menyarankan klien mereka untuk membangun portofolio tahan iklim.

Indika Energy sendiri, selaku perusahaan energi yang memiliki portofolio terdiversifikasi memiliki komitmen yang tinggi dalam mendukung transisi energi, salah satunya dengan mendirikan Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS) yang merupakan pembangkit listrik tenaga surya  dan Electra Mobilitas Indonesia (EMI), sebuah perusahaan pengembangan industri kendaraan listrik nasional.

Saat ini EMITS telah melakukan kemitraan bersama Enertec Mitra Solusi (ENERTEC) dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS) untuk kerja sama di bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Kemitraan dilakukan melalui pemasangan solar pv  (Photovoltaic) dalam mewujudkan pelabuhan bebas Sabang menjadi green port, yang merupakan konsep pengembangan pelabuhan berkelanjutan. Yang terbaru, EMITS juga telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Sampoerna Kayoe Group untuk Bangun PLTS Ground-mounted Berkapasitas 12 MWp dan Sistem Baterai 3 MWh di Maluku Utara.

Langkah diversifikasi portofolio yang dilakukan oleh Indika Energy ini merupakan wujud komitmen perusahaan untuk mencapai netral karbon pada 2050 sekaligus membangun perusahaan yang tumbuh dan berkelanjutan.