Arsjad Rasjid:
“IEG Tidak Mungkin Mengelak dari Disruptive Technology”

Project Minerva menjadi bukti nyata kesuksesan adaptasi transformasi digital. Arsjad Rasjid dan Hanifa Indradjaya memberi tips keberhasilan tersebut di Disrupto Fest.

“Tambang? Ah, industri kuno.” Sebagian orang, terutama generasi muda, mungkin masih ada yang menganggap bahwa pertambangan adalah industri “konvensional”, “masa lalu”, dan jauh dari penggunaan teknologi terbaru.

Anggapan ini tentu tidak berlaku di Indika Energy Group (IEG). “Pertambangan berhubungan erat dengan adaptasi teknologi terkini, industri yang bisa menjadi supply chains bagi perkembangan mobil listrik misalnya. Tambang adalah salah satu kontributor lifestyle of tomorrow,” ujar Arsjad Rasjid, Direktur Utama Indika Energy di Disrupto Fest pada 17 Juli lalu.

Disrupto Fest adalah festival inovasi secara virtual yang menghadirkan para inovator yang bereksplorasi dan berinovasi untuk mendukung Indonesia maju dan keberlanjutan manusia di masa mendatang. Arsjad Rasjid bersama Hanifa Indradjaya, Direktur Utama Petrosea, menjadi narasumber pada sebuah sesi bertajuk Project Minerva: Transformasi Digital Industri Pertambangan.

Menilik judul sesinya, sebagian besar insan IEG tentu sudah paham dengan fokus pembicaraan tersebut. Ya, proyek Minerva di Tabang, Kalimantan Timur, telah menjadi kisah sukses IEG dalam penerapan teknologi terkini untuk membangkitkan proyek yang sempat terpuruk. Melalui digitalisasi kegiatan operasionalnya, Petrosea berhasil mentransformasi proyek yang penuh tantangan menjadi salah satu proyek paling menguntungkan di Petrosea hanya dalam waktu 6 bulan.

Arsjad menilai, IEG tidak mungkin mengelak dari disruptive technology, karena niscaya akan tertinggal dari laju industri pertambangan. “Pertama kali kami melangkah dalam proyek Minerva ini, kami tentu punya rasa khawatir. Namun pada akhirnya kita harus move on dan ikut berpartisipasi pada Industri 4.0,” tambahnya.

Sementara itu, Hanifa menjelaskan Minerva merupakan singkatan dari Mining Engineering Advanced Analytics, mencoba mengidentifikasi berbagai aspek cost driven. “Jika aspek tersebut sudah bisa di kendalikan maka akan tercipta imbal balik yang positif. Penggunaan teknologi analytics mengatasi inefisiensi, baik teknikal operasional dan struktural,” ungkapnya.

Secara konkrit, Hanifa mengambil contoh konektivitas antar sensor yang ditempatkan di lapangan yang dapat menghasilkan data analytics yang kemudian berproses menjadi advanced analytics untuk menghasilan berbagai kesimpulan dan perhitungan descriptive, predictive, dan prescriptive. “Salah satu contoh dari hasil analisis, dapat melihat oil pressure pada kendaraan sekaligus memperkirakan sudah harus diganti pada jam tertentu”.

“Ada juga penggunaan Artificial Intelligence (AI), yang kembali mengelola advanced analytics tadi menjadi prediksi kognitif untuk bisa mengenali pola kerja yang lebih luas lagi. Misalnya mencari efisiensi dan efektivitas dari cycling time fleet kita, sehingga bisa menjawab masalah real yang dihadapi,” ujar Hanifa menjelaskan proses teknisnya.

Namun demikian, baik Arsjad dan Hanifa sepakat bahwa penerapan teknologi secanggih apa pun tidak akan bisa berhasil jika melupakan kunci sukses yang lain: manusia dan pemimpinnya. “Kita tidak bisa hanya bicara soal instrumen, tapi juga manusianya sebagai kunci transformasi digital. Perlu adanya kesinambungan dengan perubahan mindset dan behavior,” ungkap Arsjad.

Hanifa menyebut dalam melakukan transformasi SDM di dalam sebuah organisasi, tidak bisa terlepas dari upaya untuk meyakinkan hati dan pemikiran para insan yang terlibat di dalamnya. Berbagai sistem pun sengaja digulirkan agar karyawan tidak merasa terpinggirkan dengan adanya teknologi, namun justru merasa semakin terberdayakan.

Hanifa menyatakan transformasi digital memungkinkan adanya transparansi dan fairness. Salah satunya dengan memberlakukan bonus mining scheme baik produksi mingguan atau bulanan yang berpengaruh pada bonus yang diterima. Di sisi lain, kesalahan yang dapat teranalisa tidak digunakan untuk menghukum, melainkan untuk melakukan upgrade kemampuan karyawan. Dampaknya, semua orang berlomba memaksimalkan teknologi tersebut untuk peningkatan kinerja.

Dengan berbagai upaya tersebut, maka resistensi karyawan akan transformasi digital justru menjadi minim. “Jika seseorang  melihat ada cara lain yang lebih baik dengan lebih cepat, maka meskipun orang itu sudah lama bekerja di zona nyamannya, akan cepat berubah dan beradaptasi dengan perubahan yang ada,” pungkas Hanifa.