Reshaping Business, Strengthening ESG Practices
BoC and BoD Induction 2020

Adaptasi dengan perubahan, gesit menghadapi tantangan dan memastikan implementasi aspek ESG menjadi tiga kunci keberlanjutan Indika Energy Group.

Bertajuk “Reshaping Business, Strengthening ESG Practices”, BoC and Bod Induction 2020 diadakan pada 30 Juli lalu dan dihadiri oleh 71 orang pemimpin Indika Energy Group. Dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat, setiap peserta baik yang hadir secara online maupun offline, berdiskusi dan mendengarkan perkembangan industri terkini di tengah pandemi sehingga nantinya mampu menyusun strategi yang tepat untuk setiap perusahaan.

Bagi Direktur Utama Indika Energy, Arsjad Rasjid, tema kegiatan kali ini sangat mewakili dunia industri saat ini. “Di seluruh dunia, selama sekitar empat bulan terakhir masyarakat banyak merefleksikan diri. Begitu juga dengan Indika Energy yang terus melakukan refleksi diri. Kita harus melihat strategi baru, melihat kembali visi, misi, strategi untuk memastikan sustainability untuk ke depannya dan gesit  beradaptasi dengan dunia yang baru ini,” tutur Arsjad saat membuka kegiatan tersebut.

Di sisi lain, aspek ESG (Environmental, Social, Governance) di dunia usaha makin menggeliat bahkan sebelum pandemi dimulai. Arsjad menyitir usaha para pemimpin perusahaan dunia seperti CEO JP Morgan yang berpendapat bahwa tujuan utama perusahaan saat ini bukan hanya shareholders’ values, tapi juga stakeholders’ values. Perusahaan harus mengadaptasi dan melakukan berbagai inisitaif terkait ESG, namun tidak hanya itu, untuk menjadi bagian dari movement ini, ESG harus diterapkan dalam keseharian. Hal ini tentu tidak bisa diubah dengan cepat, namun dengan memperhatikan aspek ESG ini bisa dipastikan bahwa perusahaan telah bergerak ke arah yang tepat.

Untuk melihat lebih jauh posisi Indonesia dalam makroekonomi dunia terkait dampak COVID-19, BoC and BoD Induction 2020 menghadirkan ekonom Chatib Basri. Menurut Chatib, dalam konteks global, manufacturing dan services Purchasing Management Index (PMI) serta retail sales, dari Amerika Serikat, Jerman, China, dan Jepang memiliki kesamaan pola, bahwa kemerosotan ekonomi terjadi di negara-negara tersebut sejak Februari atau Maret, dan mulai rebound di Mei. Sehingga menurutnya ada peluang recovery. Namun apakah akan full recovery dan berapa lama menuju pemulihan sempurna? Hal ini yang menurutnya menjadi pertanyaan besar.

Chatib juga menyinggung soal penurunan harga komoditas yang akan ikut mempengaruhi perekonomian Tanah Air dan pendapatan pajak. “Akan ada defisit budget yang besar, pemerintah memperkirakan di angka 5-7%. Dan ini tidak semuanya datang dari ekspansi fiskal, namun juga karena penurunan pendapatan dari pajak” ungkapnya.

Lalu, bagaimana Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain? Mengambil contoh Singapura, Chatib menyebut negara tetangga ini sangat tergantung pada perdagangan dunia, sehingga ketika perekonomian runtuh, seperti karena pandemi ini, pertumbuhan GDP mereka pun menurun tajam. Hal ini terefleksi dalam hasil Q2 mereka – quarter to quarter minus 41%, sementara year on year Q2 minus 12,6%.

Sementara itu, Indonesia pada Q1 masih tumbuh 2,97% karena kita bergantung pada ekonomi domestik daripada global. “Namun ketika pandemi mengenai perekonomian domestik kita, maka berdampak ke GDP.  Karenanya di Q2 akan minus. Akankah di Q3 juga minus, atau rebound ke nol atau positif?” ucap Chatib.

Chatib juga menyinggung soal ketersediaan vaksin yang diperkirakan tersedia di awal 2021, namun menurutnya proses imunisasi ketika vaksin sudah tersedia pun juga tidak akan mudah. Karena harus dilakukan di seluruh dunia, tidak hanya di satu negara saja. Sehingga, menurutnya proses pemulihan Indonesia akan berbentuk “U-shaped”, karenanya Indika Energy harus membuat perencanaan jangka panjang – dikarenakan ekonomi kemungkinan belum akan kembali normal dalam waktu dekat.

Jika Chatib menyoroti perkembangan terkini dan proyeksi pemulihan ekonomi Indonesia ke depan, maka tim Boston Consulting Group (BCG) menyoroti pentingnya diversifikasi usaha bagi Indika Energy sebagai bentuk “Reshaping Business” di masa depan. Sebuah transisi dari inti fokus batubara saat ini, menuju portofolio yang terdiversifikasi dengan pertumbuhan yang tinggi.

BCG merujuk ke beberapa sektor kunci yang memungkinkan terjadinya akselerasi. Misalnya saja logam, dengan meningkatnya populasi dan ekonomi berkembang di China dan India yang diperkirakan akan mendorong permintaan logam di masa depan. Kemudian sektor sustainability dengan adanya target penurunan emisi karbon yang besar sehingga mendorong bisnis menghasilkan solusi berbasis alam.

BCG juga menyinggung sektor Digital Ecosystems mengingat potensi pasar yang tinggi dan konsumen maupun industri yang beralih ke digital. “Tentu tidak semua potensi ini bisa dimasuki Indika Energy secara bersamaan, kita harus lihat satu-persatu dengan in-depth assessment yang baik,” ujar tim BCG.

 

Co-founder Indika Energy, Wiwoho Basuki, pun menyadari pentingnya diversifikasi – salah satunya dengan memaksimalkan sumber yang telah dimiliki Indika Energy saat ini. “Kita bisa leverage knowledge untuk mengembangkan kemungkinan mineral yang lain. Misalnya saja dengan mengembangkan staf geologi yang kuat,“ ungkapnya. Menurutnya, Indika Energy juga harus berkolaborasi dengan berbagai universitas sebagai bagian dari program ESG, dan mendapatkan studi yang komprehensif tentang peluang mineral  selain batubara.

Beralih pada aspek “Strengthening ESG Practices”, Wakil Direktur Utama & CEO Indika Energy, Azis Armand, mengungkapkan bahwa ESG saat ini digunakan oleh para investor untuk mengevaluasi perilaku perusahaan dan untuk menentukan kinerja keuangan masa depan perusahaan. Hal ini digunakan dalam strategi penilaian risiko yang digabungkan ke dalam keputusan investasi dan proses manajemen risiko.

Azis sendiri menyoroti beberapa highlight dari performa ESG Indika Energy Group (IEG) pada 2019 seperti pada aspek Environmental, yang diantaranya adalah emisi GHG pada tambang Kideco sebesar 47.601 Ton CO2eq (+2,1%), total proses produksi emisi di Petrosea sebesar 324.732,56 Ton CO2eq (-15,2%). Pada aspek Social tidak ada kasus pelanggaran hak masyarakat adat dan pengaduan Hak Asasi Manusia. Sementara di aspek Governance, tidak ada denda akibat tidak mematuhi peraturan tata kelola maupun keluhan tata kelola perusahaan yang signifikan.

Ke depan, Azis berharap beberapa hal dapat dilakukan untuk memperkuat komitmen ESG IEG. Direksi holding dan para subsidiaries diharapkan dapat segera menetapkan prioritas dan menyusun roadmap implementasi ESG di setiap perusahaan. Panel ESG tingkat eksekutif untuk membahas tentang implementasi roadmap ESG juga akan dilakukan. Kemudian Komite ARC akan terus mengawasi pelaksanaan ESG di setiap perusahaan, dan masing-masing perusahaan berkomitmen untuk menerbitkan Sustainability Report mulai tahun 2021.

Di penutup sesinya, Azis berpesan kendati ESG mencakup banyak hal, namun kita harus dapat mendiskusikannya dengan baik – termasuk materi ESG terbaik dan cost benefit untuk setiap subsidiaries serta target pencapaian. “Hal semacam ini yang orang lihat saat ini. Jadi pengukuran jelas. Apakah kita berkontribusi dari income per kapita, akses ke air, semuanya bisa diukur secara kuantitatif. Ini inisiatif ESG yang kita mau. Dan yang terpenting, harus genuine dari hati,” ungkap Azis.

Menutup kegiatan hari itu, Arsjad Rasjid kembali mengingatkan bahwa masa pandemi ini telah mengakselerasi perubahan, termasuk perubahan mindset. Menerima perubahan tentu bukan perkara mudah, namun kita harus mau berubah. “Demi terus sustained berkontribusi untuk bangsa dan menjadi perusahaan yang lebih baik di masa depan,” pungkasnya.