Harmoni Pola Pikir dan Teknologi

oleh: Hanifa Indradjaya, Direktur Utama PT Petrosea, Tbk.
Bagi Presiden Direktur Petrosea Hanifa Indradjaya, adaptasi Industri 4.0 tidak hanya sebuah transformasi teknologi semata. Ada mantra “cara berpikir, cara menyikapi, dan cara merespon” yang tak bosan ia rapalkan, untuk memastikan transformasi industri era terkini ini berjalan dengan baik. Hasilnya, Proyek Minerva di Tabang, Kalimantan Timur, dalam waktu relatif singkat melonjak dari merugi hingga kini untung besar.

 

Seberapa besar manfaat program “Making Indonesia 4.0” yang dicanangkan pemerintah?

Ini sinyal yang bagus, berarti pemerintah menunjukkan awareness agar cara berpikir, cara menyikapi, dan cara merespon perubahan atau disruption yang ada itu sudah sangat berbeda. Semoga dengan niatan ini, langkah pemerintah dalam mengelola kewenangan dan meregulasi industri dapat mencerminkan ciri khas dari Industri 4.0 yaitu sangat agile, cepat berubah, dan karenanya kita harus responsif. Jadi tidak semata-mata teknologinya, namun juga perubahan cara berpikirnya. Karena pada akhirnya opsi pemerintah untuk meregulasi sesuatu dengan paradigma 4.0, adalah meregulasi outcome yang diinginkan, bukan membatasi lingkup maupun perilaku pelaku industri secara sempit. Karena kalau semangatnya semacam itu, justru yang bisa terjadi adalah industri menjadi tidak responsif, tidak agile, sehingga walau sudah mengadaptasi technology enabler pun akan terjadi missed match. Industri 4.0 konotasinya mungkin seperti Internet of Things (IoT) atau big data. Tetapi yang tak kalah penting adalah perubahan pola pikir. Di Petrosea, kami sudah mengaplikasikannya pada Proyek Minerva di Tabang Di permukaan, yang terlihat adalah perpaduan advance analytics dan big data dari operasional perusahaan dapat mendorong kinerja, namun sebenarnya elemen utama yang terpengaruh adalah change management. Salah satu yang membuka mata kita di Minerva adalah cara mengubah pola pikir, pola kerja, hingga pola berinteraksi. Memang benar perubahan itu melibatkan teknologi, big data dan advance analytics, tetapi yang benar-benar membuat Minerva berhasil kendati baru fase pertama, karena diiringi penerapan change management yang sangat efektif, sehingga apa pun langkah adaptasi teknologi yang direncanakan bisa terjadi.

Kenapa Minerva menjadi pilot project?

Berawal dari sebuah diskusi tentang IoT, kami ingin tahu tentang Industry 4.0 dan kemungkinan penerapannya di industri pertambangan. Di awal 2018 kita mempunyai Proyek Tabang dengan performa yang sangat menantang, mulai dari isu cuaca, logistik, hingga yang terkait dengan parameter-parameter operasional hingga optimalisasi operasional menjadi kendala, sehingga mempengaruhi performa proyek. Pada dasarnya kita mengalami kerugian, sehingga saya berpikir inilah tempat kita bisa memulainya. Kami beruntung punya tim yang open minded, yang paham bahwa proyek ini membutuhkan sebuah solusi. Interaksi dan keterlibatan top management, mulai dari directors, managers, hingga para karyawan lain pun sangat full time untuk memastikan implementasi Industry 4.0 berjalan dan bermanfaat untuk perkembangan proyek ini. Bisa saya bilang luar biasa karena dalam waktu sekitar enam bulan, semua parameter operasi mulai dari produktivitas, konsumsi bahan bakar, dan pendorong keuntungan lain, berubah dengan cepat. Proyek yang tadinya merugi kini menjadi proyek yang paling menguntungkan di Petrosea.

Jadi Anda melihat teknologi adalah enabler yang sangat kuat?

Ya, namun tentunya harus diiringi dengan kemauan dan kemampuan orang untuk mau berubah dan beradaptasi Minerva saat ini akan memasuki fase kedua di proyek Kideco, yang parameter operasinya akan berbeda walau kegiatan yang dikerjakan hampir serupa. Concern serta tantangan di Tabang dan di Kideco akan berbeda pula. Tidak akan ada sebuah solusi tunggal yang bisa cocok di semua tempat. Kalau saya bisa bilang, Minerva adalah sebuah enabler dari tim operasional hingga top level management dalam menjalankan bisnis. Secara alami melalui Minerva, silo mentality terpatahkan. Kesadaran bahwa ini adalah persoalan bersama membuat setiap karyawan berkolaborasi dan berinteraksi. Data yang dimiliki berasal dari banyak aspek. Di truk saja misalnya, sudah bisa menampilkan ribuan data yang di-generate, misalnya saja tire pressure, load factor, oil pressure, hingga speed. Tentu saja diperlukan kemampuan untuk menganalisa data tersebut untuk pengambilan keputusan. Big data dan advanced analytics ini memberdayakan dispatcher yang bisa sangat krusial. Kita mempunyai control tower sebagai “otak” pertambangan yang bisa dioptimalkan secara real time.

Bagaimana sisi risikonya?

Semakin kita bertopang pada sesuatu, tentu akan ada kemungkinan kita terjatuh jika topangan itu patah. Maka kita harus memastikan kita tidak terlalu bergantung pada 4.0 karena pada akhirnya ini bukan sekadar sebuah alat, software, atau solusi semata. Kalau ini sebuah enabler yang dapat mengubah cara kita berpikir, bekerja, berinteraksi, saya rasa secara organisasi, struktur, dan proses, topangan akan jauh lebih kuat. Jika kita melihat risk management, tantangannya adalah kita harus mampu mencari dan mengidentifikasi risiko, kemudian membagi-baginya dalam porsi-porsi ideal untuk kita tangani dengan efektif. Teknologi sebagai enabler mungkin bisa berubah dalam waktu singkat, namun jika cara berpikir dan cara menyikapinya sudah berubah, kita bisa tetap keep up dengan apa pun yang terjadi, sekaligus tetap dapat menyerapnya untuk digunakan untuk keberlangsungan perusahaan.

Spesies yang dapat bertahan itu bukan yang terkuat atau terpintar, namun mereka yang dapat dengan cepat beradaptasi.

– Charles Darwin –

Hal itu masih relevan saat ini.

Petrosea digawangi hampir 6000 personil. Ada kekhawatiran akan terganti oleh teknologi?

Awalnya ada. Tetapi begitu ada engagement di semua level dan mengetahui bahwa ada cara kerja baru yang lebih baik, setiap orang secara ideal akan merasa lebih baik untuk posisi masing-masing. Ini menjadi mungkin karena performanya terukur, dan untuk mencapai performa yang lebih baik, parameternya juga jelas. Jadi dianggap sebagai sebuah ancaman, Industry 4.0 justru memperkuat personil kita. Karakteristik tenaga kerja kita itu beragam, termasuk skill set dari yang masih pemula sampai yang berpengalaman sekali. Nah, Industry 4.0 memungkinkan proses closing the gap antar skill set menjadi lebih cepat, sehingga mereka merasa kehadiran Industry 4.0 dapat menjadi alat untuk memperkuat diri sendiri. Dengan begitu value diri tentu juga akan naik dan ini nyata terefleksikan di incentive scheme yang ada.

Tantangan ke depan?

Beragam dimensi dan lapisan. Makanya kalau saya bicara di sesi kumpul seperti Townhall atau Coffee Morning, saya selalu bilang bahwa perubahan di dunia begitu cepat. Performa kita di tiga tahun terakhir sudah bagus, bahkan dari berbagai aspek di tahun 2018, relatif menjadi performa terbaik Petrosea dalam 47 tahun. Kita mungkin lantas berpikir bahwa kita akan terus bagus. Namun kita tidak bisa ada yang menyangka jika suatu hari kita bangun dan langsung menghadap tembok besar. Perubahan cepat sekali, bisa saja dari aspek regulasi atau dari aspek landscape industri. Regulasi dari pemerintah juga dapat mengubah cara perilaku industri. Sementara industri batubara dalam kurun waktu setahun saja relatif mudah untuk terganggu, baik dari sisi supply maupun demand. Begitu ada acuan harga batubara yang komponen domestiknya itu cukup besar, itulah yang menjadi acuan harga internasional. Jadi sekarang sudah tidak lagi dihubungkan dengan Newcastle Index. Maka behaviour tambang-tambang besar akan sangat berbeda sehingga menjadi tantangan yang harus kita sikapi.

Kalau tantangan dari sisi pelaku industrinya sendiri?

Kompetitor kita ada yang secara natural seperti menuju ke sebuah posisi yang tidak relevan di kompetisi yang ada. Saat ini mereka sudah berkembang pesat. Dan dengan ukuran dan cash yang sangat besar, bukan tidak mungkin dalam waktu 1-2 tahun ini mereka menjadi dominan sebagai pemilik tambang. Kalau sifatnya seperti itu, apakah kehadiran Petrosea tetap akan relevan jika masih tetap melakukan model bisnis seperti saat ini? Ini akan menjadi sebuah shift yang sangat besar, sehingga cara berpikir kita harus berubah. Value proposition kita tidak bisa sama. Jadi disrupsi tidak hanya mengenai teknologi, namun juga datang dari berbagai area dan di luar kendali kita. Kita harus dengan cermat memposisikan diri dan beradaptasi di berbagai situasi yang terus berubah itu.