Human Capital Sebagai Kunci Pasca Pandemi

Hari-hari awal COVID-19 menyeruak di Indonesia menjadi hari-hari yang tidak akan terlupakan bagi teman-teman yang bekerja di divisi Human Capital. Mereka menjadi bagian penting dalam penataan ulang praktik personel, membangun ketahanan organisasi, menjaga keamanan dan moral karyawan dalam waktu yang sangat singkat.

Di masa pandemi saat ini, faktor human capital menjadi elemen yang krusial dalam keberlanjutan perusahaan. Bisnis harus menyesuaikan diri dengan cepat agar dapat tetap bertahan, termasuk mengelola perubahan radikal yang dihadapi oleh para tenaga kerjanya. Pandemi juga memberi para pemimpin kesempatan untuk merancang masa depan kerja, mengambil tindakan cepat untuk melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja, mengadakan berbagai layanan yang mungkin sebelumnya belum ada, hingga menerapkan strategi untuk mendukung pekerja di masa-masa penuh tantangan ini.

Pada artikel “HR Says Talent is Crucial for Performance—and the Pandemic proves it” milik McKinsey, beberapa tindakan dapat diambil para pimpinan perusahaan untuk menyusun strategi sumber daya manusia (SDM) yang berkelanjutan bahkan diharapkan hingga pasca pandemi.

Menemukan dan mempekerjakan orang yang tepat

Selama krisis COVID-19, perubahan permintaan masyarakat telah menyebabkan lonjakan sementara dalam perekrutan di berbagai bidang seperti toko grosir makanan, namun di lain sisi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di industri lain seperti rumah makan dan perhotelan. Dengan pergeseran tersebut dan peningkatan pengangguran secara keseluruhan, perekrutan yang efisien dan efektif akan terus menjadi penting, terutama untuk keterampilan langka seperti misalnya Teknologi Informasi yang dibutuhkan di masa pasca pandemi.

Mei lalu, McKinsey telah melakukan survey terhadap 190 pemimpin perusahaan di seluruh industri terkait dengan alokasi pengeluaran. 67% dari mereka mengatakan bahwa mereka akan mengurangi pengeluaran untuk perekrutan tenaga kerja permanen selama 12 bulan ke depan.

Selain penurunan permintaan tenaga kerja, organisasi juga memikirkan kembali proses perekrutan mereka secara lebih luas, misalnya, lebih cenderung mengikuti tren perekrutan online. McKinsey melihat tren ini akan terus berlanjut di era pasca pandemi.

Sementara itu, 63% pemimpin berencana untuk mengalokasikan pengeluaran untuk penambahan staf Teknologi Informasi. Menurut Online Labour Index sendiri, jumlah tenaga freelance online dalam pekerjaan perangkat lunak dan teknologi sebenarnya telah meningkat secara signifikan selama pandemi.

SDM dengan keterampilan digital yang masih terbatas, tentu akan mendapatkan tantangan tersendiri dikarenakan situasi yang mengharuskan kerja jarak jauh dan online. Tenaga kerja temporer menurut survey akan lebih cepat merespon pemulihan krisis, karena pemberi kerja biasanya lebih menghargai fleksibilitas selama pandemi.

Belajar dan bertumbuh

Organisasi belajar menghadapi tantangan saat tekanan biaya terus berlanjut meski usaha menurun, dan kebutuhan untuk mengembangkan pekerja untuk beradaptasi dengan perubahan harus tetap dilakukan. Penelitian tentang reskilling  menunjukkan bahwa para pimpinan perusahaan perlu memikirkan efek transisi tenaga kerja yang cukup besar untuk membantu mengurangi kesenjangan talent sehingga karyawan dapat tetap terhubung dengan pekerjaannya.

Berikut adalah beberapa kategori pelatihan:

  1. Pelatihan digital mengenai keterampilan. Banyak organisasi memperluas pelatihan jarak jauh untuk mengatasi tantangan, seperti kepemimpinan yang efektif dari tim jarak jauh (keahlian baru bagi sebagian besar manajer).
  2. Peningkatan keterampilan berfokus pada perubahan pekerjaan. Misalnya, tenaga penjualan yang beralih ke model jarak jauh.
  3. Pengembangan kepemimpinan. Organisasi dapat mengidentifikasi tiga hingga lima perubahan dalam perilaku kepemimpinan yang diperlukan agar mereka tetap bergerak dengan cara yang lebih fokus.

Tetap menjadi “manusia” di dunia yang sarat oleh teknologi

Sebagaimana didefinisikan dalam laporan Deloitte Global Human Capital Trends 2018, perusahaan perlu memperhatikan penataan ulang yang lebih berpusat pada manusia, hubungan antara individu dan organisasi, serta organisasi dan masyarakat. Di saat bersamaan, kemajuan teknologi membawa perubahan besar dalam waktu singkat. Teknologi baru dan transformasi digital pun mendominasi sehingga terkadang pengembangan manusia dianggap terpisah dari kemajuan teknologi.

Deloitte menantang organisasi untuk memeriksa kembali apakah manusia dan teknologi benar-benar berkonflik, dan mempertimbangkan cara untuk tetap mengembangkan SDM selaras dengan pengembangan teknologi.  COVID-19 telah memperkuat keyakinan bahwa manusia tidak terpisah dari kemajuan teknologi, tetapi merupakan bagian integral dari organisasi yang ingin menangkap nilai penuh dari teknologi yang diterapkan.

Ketika organisasi berusaha menyesuaikan cara kerja SDM dalam menanggapi krisis, mereka menemukan bahwa di hampir seluruh bagian dunia, teknologi bukanlah tantangan terbesar. Di negara-negara yang teknologinya telah tersedia, salah satu hambatan terbesar adalah kesulitan membangun model untuk diintegrasikan antara manusia dengan teknologi untuk menciptakan kebiasaan baru dan praktik manajemen agar orang dapat beradaptasi, berperilaku, dan bekerja bersama teknologi. Krisis ini telah menghadirkan peluang unik bagi organisasi yang dapat memperlakukan manusia dan mesin secara bersamaan. Mengingat COVID-19, peluang (dan risiko) mungkin tidak pernah lebih besar bagi organisasi untuk melampaui paradoks ini dan melihat kemungkinan di masa depan.

Di dunia pasca pandemi, tujuan, potensi, perspektif, dan kemungkinan bukan lagi aspirasi yang berfokus pada masa depan, tetapi kenyataan saat ini

Mengoptimalkan perencanaan dan strategi tenaga kerja

Mengingat perubahan diciptakan di dunia pasca COVID-19 misalnya, adaptasi pengalaman contactless di toko bahan makanan, ritel, dan restoran dan perubahan dari pola pertemuan yang menjadi non-fisik, SDM yang dibutuhkan mungkin juga perlu bergeser. Ada tiga komponen penting dari perencanaan dan strategi tenaga kerja:

  1. Peran-peran penting. Penting untuk mengidentifikasi pekerjaan inti yang harus dilakukan serta melihat kembali kualitas para pemimpin dalam beradaptasi dan melihat peluang, misalnya, pengembangan dan inovasi produk baru.
  2. Kumpulan keterampilan. Selain peran individu, organisasi harus melihat kumpulan keterampilan utama mereka, untuk memahami keterampilan yang dibutuhkan untuk masa depan dan apakah mereka memiliki skills yang dibutuhkan.
  3. Sistem talent. Pimpinan perusahaan memiliki banyak alat perencanaan tenaga kerja untuk membantu mereka menyesuaikan orang dengan pekerjaan. Misalnya saja alat berteknologi artificial intelligence yang dapat membantu menilai keterampilan individu.

Kemungkinan baru muncul dari krisis COVID-19

Melalui krisis ini, Deloitte melihat kesempatan di berbagai organisasi untuk memastikan ketahanan dan adaptasi SDM, karena pekerja dengan cepat mengambil peran baru dan bahkan berkontribusi pada peluang di berbagai bidang, maka banyak pergeseran yang telah terjadi dan akhirnya menimbulkan kemungkinan baru.

  1. Motivasi untuk memberikan kontribusi lebih

COVID-19 telah menimbulkan motivasi banyak orang untuk menghubungkan kontribusi pekerjaan mereka pada sebuah tujuan atau misi yang lebih besar. Perusahaan harus menciptakan koneksi yang jelas di antara pekerjaan individu, tujuan tim, dan misi perusahaan. Perlu lebih dari sekadar memperlakukan pekerja secara adil, namun bagaimana kontribusi mereka berdampak pada organisasi dan masyarakat secara keseluruhan.

  1. Mengedepankan tingkat keamanan fisik, mental dan finansial

Pandemi membuat pekerja menghabiskan lebih banyak waktu dalam hari kerja, kelelahan, dapat mengekspos stres dalam menyeimbangkan tuntutan profesional dan pribadi, karena komitmen dan peran pribadi, seperti orang yang tidak dapat lagi dipisahkan dengan pekerjaan. Perusahaan perlu menanamkan kesejahteraan ke dalam setiap aspek rancangan dan kinerja pekerjaan, serta mendesain ulang pekerjaan secara fundamental. Ini akan membuka kemungkinan bagi pekerja untuk hidup dan bekerja sebaik mungkin.

  1. Pendekatan berbasis data

COVID-19 membuktikan bahwa generalisasi berdasarkan usia saja dapat menyebabkan kesimpulan yang salah. Misalnya, virus yang awalnya dikira hanya menyerang orang tua, ternyata bisa menyerang siapa saja. Organisasi harus menggunakan pendekatan berbasis data untuk lebih memahami kebutuhan dan dimensi pekerja, kemudian mengelompokkan tenaga kerja sesuai dengan data tersebut. Jika organisasi dapat lebih memahami pekerjanya, mereka akan dapat secara lebih efektif mengembangkan program dan target yang menonjolkan pribadi terbaiknya, sambil adanya perlindungan kesehatan agar dapat bekerja dengan aman.

  1. Haus akan Informasi

Haus akan informasi selama pandemi membuktikan frasa “pengetahuan adalah kekuatan.” Ketika individu di seluruh dunia menuntut informasi apa pun yang dapat mereka temukan tentang informasi perawatan, pengembangan vaksin, langkah-langkah keamanan, hingga penutupan bisnis. Organisasi dapat memanfaatkan kekuatan teknologi untuk membangun budaya berbagi pengetahuan yang dapat ditindaklanjuti untuk memperkuat konektivitas dan memberi ketahanan organisasi untuk dapat bertahan bahkan berkembang.

  1. Beradaptasi terhadap perubahan

Pandemi memperlihatkan adanya adaptasi kerja sehingga perusahaan harus mendorong dan menawarkan kesempatan bagi pekerja untuk terus tumbuh dan beradaptasi berdasarkan potensi mereka, bukan hanya pada keterampilan atau sertifikasi yang ada. Bahkan menggandakan komitmen untuk membangun tenaga kerja tangguh, yang dapat beradaptasi dalam menghadapi perubahan yang konstan.

  1. Kompensasi adalah indikator

Kompensasi adalah indikator yang bukan hanya penting dalam budaya dan nilai organisasi, tetapi juga indikator nilai pasar. Perusahaan harus mengkaji ulang akan prinsip sebagai dasar program dan kebijakan kompensasi. Saat mengevaluasi prinsip-prinsip tersebut, hendaknya tidak terbatas pada nilai pasar, tetapi juga harus memperhitungkan nilai kemanusiaan dalam bentuk keadilan, transparansi, pertumbuhan, dan kolaborasi.

  1. Kemudahan mengakses data

COVID-19 menempatkan kebutuhan dan kemudahan akses ke data SDM yang insightful dan berorientasi ke masa depan, misalnya data tentang kemampuan tenaga kerja, keadaan fisik dan mental pekerja. Perusahan harus memanfaatkan kekuatan teknologi untuk mengumpulkan data tenaga kerja, tata kelola perusahaan.

Selama pandemi, perusahaan telah mengalami ledakan percepatan, menguji kemampuan dalam memadukan SDM dan teknologi dalam lingkungan bisnis paling dinamis. Mengintegrasikan hal-hal tersebut adalah cara yang efektif menuju pemulihan. Menurut Deloitte, di dunia pasca pandemi, tujuan, potensi, perspektif, dan kemungkinan bukan lagi aspirasi yang berfokus pada masa depan, tetapi kenyataan saat ini.  “The sustainability of those actions is where the true path towards recovery will begin.”