Buka Tahun 2024 dengan Optimisme

Lanjutkan akselerasi transisi energi Indika Energy untuk kemajuan bangsa

 

Pertanyaan yang umum diajukan pada awal sebuah tahun adalah dampak seperti apa yang akan terjadi pada perekonomian global. Pertanyaan yang masih relevan juga memasuki 2024 mengingat selama lima tahun terakhir berbagai faktor telah menjungkirbalikkan perekonomian secara global, termasuk pergolakan ekonomi yang terjadi pada tahun 2023.

Namun beberapa kalangan menilai bahwa 2024 menjadi gerbang era baru dan Asia siap untuk memainkan peran utama. Menurut McKinsey dalam tajuk Asia next chapter menuturkan, rangkaian gangguan yang terjadi saat ini mulai dari pandemi global, inflasi yang cepat, dan ketegangan geopolitik yang terus berkembang, telah mengubah lingkungan bisnis global, dan dalam banyak hal menjadikan Asia sebagai pusatnya.

Di era baru ini, Asia akan menjadi mayoritas baru di dunia. Mencakup lebih dari separuh total metrik utama global dalam mengukur perekonomian dunia, posisi mayoritas ini memberi Asia peluang untuk mempengaruhi dan membentuk era baru yang tidak hanya bagi perekonomiannya sendiri, namun juga bagi dunia.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Institute for Essential Service Reform pada 2023 lalu, keputusan presiden mencabut status pandemi COVID-19 menjadi stimulus pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional menjadi lebih cepat. Hingga triwulan II tahun 2023, pertumbuhan ekonomi di Indonesia tercatat pada angka 5,17% (yoy) dan menunjukan terjadinya penguatan ekonomi di beberapa wilayah Indonesia.

Sementara iklim investasi di tahun ini diperkirakan akan membaik, sejalan dengan perkiraan melandainya inflasi Amerika Serikat (AS) dan solidnya fundamental ekonomi Indonesia, meski tahun ini pemilu akan memiliki faktor yang berpeluang untuk berdampak.

Sementara Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani juga melihat bahwa outlook pasar di 2024 akan lebih baik dari tahun ini. Sebab, inflasi AS diproyeksikan melandai ke 2,4% dan inflasi inti AS ke 2,7% sehingga mendorong The Fed menurunkan suku bunga. Fed Funds Rate diproyeksikan berkisar 4,5%-4,75% di 2024. Sejalan, suku bunga Bank Indonesia (BI) juga berpotensi diturunkan sebanyak dua hingga tiga kali antara rentang 50 bps-75bps. Dengan proyeksi tersebut, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto berpendapat maka pasar juga akan bergerak positif.

Menghadapi perkembangan yang diperkirakan akan terjadi di tahun 2024, Indika Energy terus mengoptimalkan dan melihat peluang dalam mendukung transisi energi di Indonesia

Penguatan Energi Terbarukan

Di sektor energi, Indonesia diproyeksikan mengalami peningkatan penduduk hingga mencapai 281,64 juta jiwa pada tahun 2024. Hal ini tentunya akan mendorong tingkat permintaan energi dalam negeri. Di sisi lain, faktor eksternal ketahanan energi diakibatkan konflik di Rusia dan Ukraina serta kestabilan kawasan Timur Tengah, akan dapat mempengaruhi pasar komoditas energi dunia. Indonesia juga merupakan negara yang merasakan dampak tersebut.

Jika membicarakan sektor energi, tentu tidak akan lepas dari tren global saat ini yang semakin mengarah pada energi terbarukan sehingga berbagai upaya dan komitmen terkait transisi energi menjadi arah kebijakan hampir seluruh negara di dunia.

Upaya transisi energi sendiri telah meningkat selama dekade terakhir, namun terkendala oleh tantangan makroekonomi dan geopolitik sejak tahun 2022. Pemerintah di seluruh dunia terlihat semakin memberikan perhatian terhadap pengembangan dan penggunaan teknologi energi terbarukan. Namun lingkungan bisnis juga semakin kompleks. Perusahaan energi dan pertambangan diperkirakan akan menghadapi banyak tantangan pada tahun 2024, karena meski perkembangan kebijakan pada tahun 2023 terkait transisi ke sumber energi terbarukan dan mineral telah menghasilkan peluang yang besar bagi sektor energi dan pertambangan, namun suku bunga tetap tinggi dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan melambat.

Menurut S&P Global dalam tulisannya tentang “The Big Picture: 2024 Energy Transition Industry Outlook”, kondisi makroekonomi sepanjang tahun 2024 kemungkinan besar akan menghalangi keputusan investasi tambahan beberapa perusahaan karena harga logam yang relatif lemah tidak memberikan insentif pada komitmen modal yang signifikan. Prospek jangka menengah untuk sektor pertambangan tetap kuat, terutama setelah perekonomian global menemukan pijakan yang kokoh dan seiring dengan semakin pesatnya upaya ketahanan dan transisi energi.

Perusahaan energi dan utilitas juga menghadapi tantangan jangka pendek dalam penerapan infrastruktur energi terbarukan dan tradisional. Jalur regulasi yang rumit telah menyatu dengan inflasi yang terus-menerus menekan nilai ekonomi berbagai proyek, khususnya pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai.

Industri ini kemungkinan akan mengambil pendekatan yang hati-hati dan ketat terhadap upaya pengembangan proyek pada tahun 2024, guna menghindari tantangan yang dihadapi banyak pengembang pada tahun 2023. Insentif kebijakan yang ada akan memungkinkan prospek industri untuk investasi energi terbarukan tertentu tetap menarik dalam beberapa tahun ke depan.

Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui UU No 16/2016, telah menegaskan posisinya untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih awal. Komitmen tersebut dipertegas dengan peningkatan target kontribusi nasional atau Enhance-NDC sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional.

Sejalan dengan hal tersebut, melalui komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Pemerintah Indonesia dengan negara donor yang tergabung dalam International Partner Group, Indonesia menargetkan capaian 44% bauran energi terbarukan pada tahun 2030 dan memensiunkan PLTU sebesar 1,7 GW dari operasional PLTU dalam Jaringan. Meski demikian menurut Institute for Essential Service Reform target JETP tersebut dirasa kurang ambisius untuk upaya mencapai target pengendalian kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius. Hal ini dikarenakan tidak masuknya intervensi PLTU captive yang mempunyai peran besar dalam kontribusi emisi di Indonesia.

Akselerasi Transisi Energi 

Selain dari sektor kelistrikan, transisi energi Indonesia juga perlu didorong dan diakselerasi di berbagai sektor energi lainnya seperti transportasi dan industri.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif menyatakan, saat ini ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih sangat tinggi, secara produksi trennya meningkat. Pada 2023 produksi batubara mencapai 695 juta ton dan tahun 2024 produksi batubara ditargetkan 710 juta ton di mana kebutuhan dalam negeri 220 juta.

Melansir data MODI ESDM, produksi batubara di tahun ini merupakan yang tertinggi dibandingkan 9 tahun belakangan. Sampai dengan Desember 2023 produksi sudah mencapai 751 juta ton atau 108,28% dari persentase target produksi tahun 2023 sebesar 695 juta ton. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah melalui aturan Domestic Market Obligation (DMO).

Kebijakan ini dapat mendukung perkembangan industri dalam negeri yang menggunakan sumber daya alam nasional, tetapi di sisi lain penggunaan batubara di sektor industri juga meningkatkan emisi gas rumah kaca. Sehingga perlu adanya kontrol emisi dan inovasi transformasi energi di sektor industri. Beberapa industri besar yang perlu mendapatkan perhatian adalah industri semen, besi, baja, dan amonia.

Sementara di sektor transportasi, melalui keputusan menteri No. 8 tahun 2023 telah ditetapkan 38 langkah aksi mitigasi yang fokus pada elektrifikasi kendaraan darat baik motor, mobil maupun kendaraan umum serta penggunaan bahan bakar rendah karbon pada transportasi laut dan udara.

Optimisme 2024

Menghadapi perkembangan yang diperkirakan akan terjadi di tahun 2024, Indika Energy terus mengoptimalkan dan melihat peluang dalam mendukung transisi energi di Indonesia. Pada tahun 2023, Indika Energy mewujudkan berbagai inisiatif diversifikasi usaha dan memperkuat fondasi masa depan sebagai perusahaan investasi terdiversifikasi di Indonesia, melalui pendekatan diversifikasi ke bisnis rendah karbon, dekarbonisasi operasi yang ada, serta melakukan divestasi dari bisnis karbon tinggi. Semua yang telah dilakukan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan non-batubara hingga lebih dari 50% pada tahun 2025 dan mencapai netral karbon  pada tahun 2050.